Bukan Resesi! Ini Alasan Startup PHK Karyawan?

Badai PHK dengan alasan efisiensi dan merampingkan manajemen, terus terjadi di tech startup Indonesia.
Sejauh ini, sudah ada 18 startup yang memutuskan untuk melakukan PHK, bahkan menutup operasionalnya, atau bangkrut! (baca: Daftar Tech Startup yang pecat karyawan).
Sebagian besar, beralasan efek pandemi dan resesi global yang membuat bisnis mereka terpuruk. Namun benarkah itu alasan satu-satunya?!
Daftar Isi
Dulu Namanya Dotcom Bubble, Sekarang Startup bubble!
Pernah dengar dotcom bubble? Fenomena ekonomi tahun 1998-2000, saat awal pertama internet mulai populer di dunia. Saat itu, ekuitas atau nilai saham perusahaan-perusahaan teknologi informasi melonjak tajam.
Sayangnya, nilai saham (ekuitas) tidak berbarengan dengan performa bisnis perusahaan yang baik. Sehingga saat itu, secara fundamental, valuasinya terlalu tinggi dibandingkan nilai sebenarnya.
Naiknya nilai kwalitatif (valuasi) hanya berdasarkan sentimen positif, bahwa perusahaan teknologi tersebut mengembangkan inovasi unfair advantage. Yakni, inovasi yang berbeda dari perusahaan tradisional, dan cenderung mendistrupsi untuk kedepan (harapannya) bisa mendominasi!

Nah, hal yang sama sejak dotcom bubble itu terjadi saat ini.Kira-kira 20 tahun setelahnya. Kali ini namanya adalah startup bubble!
Alasan Startup PHK Karyawan
Dari kisah dotcom / startup bubble, sudah bisa kita rumuskan, bawah resesi global bukanlah satu-satunya faktor yang jadi alasan kenapa startup mulai goyang saat ini, yakni:
- Model bisnis yang lemah. Karena terlalu fokus pada valuasi untuk mendapatkan pendanaan-pendanaan berseri-seri. Sehingga, profitabilitas cenderung jadi korban.
- Terlalu bergantung pada pendanaan dan valuasi. Startup-startup ini akan terus hidup, apabila masih ada venture capital yang membeli saham dan mengucurkan pendanaan.
- Valuasi bergantung pada GTV (Gross Transaction Value). GTV adalah nilai yang didapatkan ketika pengguna bertransaksi di dalam platform digital. Lucunya, tidak ada komponen cost dalam GTV ini. Dalam artian, untuk menghasilkan transaksi Rp. 20 milyar akan terkesan bagus-bagus saja, walau harus mengorbankan biaya sebesar Rp. 100 milyar!
- Bergantung pada Venture Capital asing. Resesi global bisa jadi kambing hitam jika banyak startup yang menggantungkan nyawa bisnisnya pada pendanaan asing. Jika mereka resesi, pasti akan sulit berinvestasi ke portfolio yang berisiko tinggi seperti tech startup.
- Kultur atau Budaya bakar uang! Marketing-marketing untuk kepentingan user acquisition adalah satu-satunya tujuan dari startup. Padahal, seharusnya, budget yang mestinya utama adalah untuk kepentingan inovasi menghasilkan unfair advantage yang lebih baik lagi.
- Disrupsi online mulai berakhir. Sejak era pandemi berakhir, masyarakat perlahan kembali beraktivitas secara offline. Oleh karenanya, era migrasi offline to online berakhir, berganti online to offline.
- Loyalitas pengguna yang buruk. Karena akuisisi pengguna (user acquisition) hanya fokus pada aspek marketing, baik itu iklan atau promosi diskon besar-besaran, maka dampaknya adalah pengguna menjadi oportunis. Jika ada kompetitor yang memberikan promo lebih baik, mereka cenderung akan pindah. Ini sangat berpengaruh terhadap rasio customer retention yang buruk!
- Instan bertumbuh, Instan terjatuh! Saat garang-garangnya mendapatkan pendanaan dan beruntung karena lockdown saat pandemi, startup cenderung beringas untuk merekrut karyawan (hiring). Tidak hanya hiring, namun juga rata-rata gaji karyawan startup sangat tinggi dengan fasilitas yang sangat baik. Padahal perusahaan belum profit!
Jadi, dari 8 poin perkiraan alasan mengapa bisnis startup cenderung rawan saat ini, ternyata cuma ada 1 poin yang terpengaruh oleh resesi global, yakni poin ke-4, sisanya adalah model dan proses bisnis mereka yang cenderung salah arah.
Sehingga bisnis yang normalnya mengejar keuntungan (profitabilitas), ini hanya fokus mengejar pendanaan. Itu bukan model bisnis yang sustainable!

Cari Info Digital & Teknologi Lebih Banyak:
Latest Comments